Jika Malaysia pernah memberikan sebuah ancaman terhadap industri batik nasional, dengan mengklaim batik adalah milik mereka, sejatinya ancaman tersebut belum seberapa, dan tentunya klaim tersebut tidak menggoyahkan industri batik nasional, namun, sebelum itu, industry batik nasional pernah dihantam 2 ancaman besar yang sempat menggerogoti stabilitas industri batik nasional, yaitu ketika di tahun 1870an, di era penjajahan Belanda, Indonesia pernah digempur trend fashion yang dibawa oleh orang-orang Eropa yaitu Belanda, mereka telah meracuni beberapa elemen masyarakat salah satunya anak muda, dan menampilkan kepraktisan dalam berpakaian, yaitu memakai stelan jas rapi, denagn celana pantalon sebagai bawahan, tentu saja itu membuat beberapa elemen masyarakat tergugah untuk berpenampilan yang sama, karena kepraktisan yang ditonjolkan pada stelan pakaian orang Eropa tersebut. Pada saat itu, batik masih dipakai di bawah, atau menjadi bawahan sebagai sarung, sebagai pelengkap atasan jas untuk penampilan acara-acara formal, tentu saja banyak orang yang menganggap memakai batik sebagai bawahan adalah sesuatu yang tidak praktis, berbeda dengan celana, lebih praktis dan bisa fleksibel di pakai untuk multi acara.
Harus diakui memang, trend fashion ala Eropa ini diinisiasi dari dalam kraton Surakarta, menurut buku ‘Jawa’ On The Subject of Java karya John Pemberton, Mangkunegara IV menjadi aktor dibalik modernisasi beskap, memotong buntut atau ekor jas orang Eropa, agar supaya mudah menyelipkan keris di belakang dan menjadikannya pakaian atasan orang-orang Jawa yaitu beskap. Pada saat yang sama, di dalam kraton Surakarta juga telah populer yang namanya celana pantalon, sekaligus potongan cepak orang Eropa juga sangat diminati oleh kalangan kraton Surakarta, dipopulerkan oleh Mangkunegara VI. Asimilasi budaya fashion Eropa-Jawa inilah yang justru malah menghantam industry batik nasional, permintaan batik mulai menurun, industri batik nasional kehilangan banyak pelanggaron, masyarakt mulai kecanduan celana pantalon, mereka membeli banyak kain-kain untuk dijahit ke penjahit, dan dibuat celana pantalon, dipakai sebagai pengganti sarung batik yang sudah lama sekali melekat erat pada diri masyarakat Jawa kala itu.
Selain itu, pada tahun 1970an, industry batik Nasional dihantam oleh gelombang batik printing, yang dibuat melalui kolaborasi teknologi garmen tekstil, untuk membuat kain-kain dengan motif menyerupai batik, dijual dengan harga yang 3 kali lipat lebih terjangkau daripada batik-batik tulis atau cap, lagi-lagi industry batik nasional dihantam dengan ancaman yang lain, banyak sekali produsen-produsen batik yang menyerah, dan menjual alat-alat produksinya, bahkan menjual rumah-rumah klasik tempat produksi batiknya karena mengetahui, hal tersebut adalah ancaman terbesar yang pernah mengancam industry batik nasional.
Kondisi masyarakat yang memang didominasi masyarakat eknomi menengah kebawah, menjadikan batik bukan batik, batik jadi-jadian atau batik printing tersebut digemari oleh Masyarakat, lebih laku keras, daripada batik-batik yang dihasilkan oleh produsen lokal yang sudah melegenda. Hadirnya batik printing tentu saja memunculkan perasaan keadilan batik untuk seluruh rakyat Indonesia, seluruh elemen Masyarakat bisa mengenakan batik, mereka bisa menebus batik dengan harga-harga yang terjangkau, batik sudah tidak ekslusif lagi, tapi di sisi lainnya, industry batik nasional mengalami kelesuan yang mendalam, produksinya tidak seramai dulu, Masyarakat mulai terkecoh dengan kehadiran batik printing yang dibuat tidak melalui proses perintangan lilin panas atau malam untuk membentuk sebuah motif tertentu, sesuai dengan definisi sejati yang dikemukakan oleh Unesco.
Jadi bagaiamana? Kita sebagai Masyarakat pewaris budaya batik, apakah sudah mendorong produktifitas industry batik nasional? Ataukah sekarang kita masih terkecoh dengan hantaman batik-batik printing? Memang harga batik printing lebih terjangkau, tapi masih ada alternatif batik lain jika dirasa batik tulis harganya mahal sekali, yaitu batik cap, batik kombinasi cap dan tulis, batik coletan atau batik kombinasi print.
Berikut spesifikasi batik:
Bahan: katun
Jenis batik: batik tulis
Ukuran: 2,4 m x 1,15 m
Harga: Rp 9.000.000,-