Salah satu obyek wisata yang tidak boleh dilewatkan para wisatawan Kampung Batik Laweyan adalah Ndalem Djimatan, terletak di timur masjid tertua di Kota Solo yaitu Masjid Laweyan. Dulunya merupakan rumah dinas Ki Ageng Henis dan para kolega, serta tempat tinggal pengurus masjid Laweyan. Menurut beberapa literatur, lokasi Ndalem Djimatan tersebut dulunya dikelilingi 7 sumur. Saat ini tersisa 2 sumur saja yang masih bisa dilihat secara fisik, sumur lainnya telah dikuasai oleh ahli warisnya. Selain itu, sebelum masuk ke dalam Ndalem Djimatan, kita akan melihat 2 arca Jaladwara yang merupakan arca aliran air yang biasa terdapat pada petirtaan. Ini menjadi petunjuk bahwa konon katanya, sebelum dipugar dan dibangun rumah dengan arsitektur Indishce-Java tersebut berdiri bangunan candi bergaya hindu yang eksis disitu.
Sepeninggal Ki Ageng Henis, Ndalem Djimatan dikuasai pengelolaannya oleh Mas Ngabehi Djimat Kartohastono oleh karena itulah, maka rumah estetik tersebut diberi nama Ndalam Djimatan yang bermakna rumah sakti, merujuk pada pemilik rumah sepeninggal Ki Ageng Henis. Waktu terus berlalu, akhirnya pada tahun 1950 dilakukan pemugaran kemudian lelang, akhirnya rumah dibeli oleh Trah Priyomarsono. Rumah dengan penampilan jawa, dipoles menggunakan ornamen-ornamen Eropa yang khas dengan pendapa, teras luas, gandok, senthong, dan ndalem yang memiliki fungsi masing-masing.
Pembangunan rumah-rumah megah para saudagar-saudagar batik Kampung Batik Laweyan di masa lalu, termasuk Ndalem Djimatan tersebut, sejatinya adalah representasi dari sikap ‘Mriyayi’ orang-orang Laweyan. Hal ini pernah dibahas oleh Alpha Fabela, seorang dosen aristektur UMS & warga Laweyan, kemudian ditulis oleh mas Alfian Widi bahwasanya sikap ‘Mriyayi’ yang melekat kuat pada diri orang Laweyan merupakan sikap elit bak bangsawan, tetapi tetap membumi. Contoh sikap priyayi yang ditunjukkan oleh orang Laweyan adalah ketika ditanya asal darimana, orang Laweyan tidak akan mengatakan dari Vornstelanden atau Surakarta bahkan Solo, orang Laweyan akan menjawab, ‘Saya dari Laweyan!’. Demi menguatkan citra Laweyan yang kental dengan kemewahan, saudagar batik, sentra tekstil, dan jantung perekonomian Jawa Tengah di masa kejayaan industri batik nasional saat itu. Laweyan menjadi sebuah dimensi lain dari Kota Surakarta, seakan-akan seperti negara dalam negara, maka dari itulah orang Laweyan akan selalu bangga pada tanah Laweyan dan akan menyebut Laweyan yang merujuk pada asal mereka lahir dan tinggal secara tegas nan lantang. Selain itu, sikap priyayi ini juga tercermin pada kunjungan tamu. Jika kita datang sebagai pembesar, ulama, pejabat yang menempati jabatan tinggi dan lainnya, orang Laweyan akan membuka regol seluas-luasnya atau keseluruhan. Regol adalah gerbang pintu besar yang berada di depan rumah. Tapi jika kita datang sebagai rakyat biasa maka, pemilik rumah bergaya Indische-Java tersebut akan mempersilahkan kita masuk lewat pintu kecil yang ada pada bagian regol besar tersebut dengan cara menunduk, wujud sikap sopan kepada pemilik rumah.
Beginilah sekelumit cerita rumah estetik Ndalem Djimatan yang merupakan representasi karakter orang Laweyan yang pernah eksis pada masanya dan tidak boleh dilewatkan, mari datang ke Kampung Batik Laweyan dan menjelajah di tengah labirin gang-gang kecilnya!
Article by Putra William Wiroatmojo, Batik Enthusiast.
Berikut spesifikasi batik :
Bahan: katun
Jenis batik: tulis
Ukuran: 2,4 x 1,15 meter
Harga: Rp 1.250.000,-