Pasca pecahnya Perjanjian Giyanti, Surakarta & Yogyakarta memutuskan untuk berpisah di tahun 1755, hal tersebut menghasilkan perbedaan-perbedaan yang mencolok terhadap lifestyle antara keduanya yaitu Kraton Surakarta & Yogyakarta, terutama variasi batik-batik yang dihasilkan. Menurut pakar batik Drs. Suhartanto, Ketua Bidang Pengkajian PPBI Sekar Jagad yang diungkapkan beliau pada acara ‘Bedah Batik Haji Bilal’ yang digelar di Taman Budaya Embung Giwangan Yogyakarta pada tanggal 11 mei 2024 yang lalu, batik yogyakarta itu ‘Mloho’, opo anane, bertahan pada pakemnya meskipun ada banyak modifikasi dan inovasi tetapi acuannya tetap pakem batik-batik klasik Mataram Islam. Sedangkan batik Surakarta itu lebih luwes, romantis, semuanya diperindah, inovasinya lebih banyak dan ekstrim. Sesuai dengan pernyataan pakar batik lainnya lagi yaitu Kepala Pasinaon Tatabusana Karaton Surakarta yaitu RMRP. Restu B. Setiawan S.Pd., M.Pd yang diungkap pada acara ‘Pameran Batik Gusti’ yang digelar di Kraton Surakarta pada 11 juni 2024 lalu, bahwa batik Surakarta itu lebih luwes, inovasinya banyak sekali, mempesona sedangkan batik Jogjakarta itu lebih melankolis, kaku, selalu mengacu pada pakem klasik. Kedua pakar batik mengatakan hal yang sama, tentu banyak hal yang mempengaruhi perkembangan dinamisme batik-batik di Surakarta & Jogjakarta, salah satunya adalah ‘Kecintaan Jogjakarta Pada Budaya Leluhur’ & ‘Adaptasi Keluwesan Surakarta Terhadap Budaya Baru’.
Menarik memang mendalami perbedaan lifestyle antara Surakarta & Jogjakarta, terutama masalah batik. Jika batik truntum Jogjakarta memiliki kelopak bulat, maka batik truntum di Surakarta kelopaknya lancip seperti bintang-bintang di angkasa.
Masih banyak lagi hal-hal yang berbeda antara Surakarta & Yogyakarta, seperti yang telah disampaikan oleh Ustadz Salim A. Fillah dalam channel youtubenya yang berjudul Guded vs Timlo, beliau mengatakan beberapa hal yang menyebabkan Surakarta & Yogyakarta berbeda adalah tentang prinsip. Setelah Surakarta & Jogjakarta berpisah tahun 1755, keduanya memutuskan untuk membedakan satu sama lain, Surakarta dikatakan Ustadz Salim A. Fillah lebih friendly kepada VOC, sehingga terjadi akulturasi budaya yang kuat antara Jawa-Eropa di segala aspek, cara berpakaian orang Eropa dengan jas & celana pantalon, potongan rambut, berkumpul & makan-makan diluar rumah hingga budaya kuliner yang Eropa sekali seperti selat solo, itu makanan orang Eropa sekali karena terdiri dari sayur-sayuran seperti kentang, kacang panjang, wortel, selada dengan siraman kuah manis. Surakarta memilih untuk adaptif terhadap akulturasi budaya yang dibawa VOC di Jawa. Sedangkan Yogyakarta lebih mengutamakan ‘Perlawanan’, tidak friendly terhadap VOC, budaya-budaya kearifan lokal Jawa tetap dipertahankan seperti berkumpul makan bersama keluarga di rumah, memakan masakan nget-ngetan atau masakan yang dipanaskan berulangkali seperti gudeg, brongkos atau blendrang lodeh. Dalam artian lain, Yogyakarta tidak menerima akulturasi budaya Eropa yang dibawa VOC di Jawa.
Hal ini mengingatkan penulis pada kebijakan PSSI di bawah ketum Erick Tohir yang berusaha meningkatkan prestasi timnas dengan strategi adaptif, mengikuti manuver timnas negara lain dengan memaksimalkan talenta half-blood alias pemain keturunan yang bermain di luar Indonesia, dipanggil untuk membela timnas di ajang-ajang internasional, hasilnya? prestasi timnas Indonesia berangsur naik, seiring dengan masuknya beberapa pemain keturunan yang notabene mendapatkan pendidikan sepak bola di akademi-akademi mumpuni di Eropa. Timnas Indonesia lebih luwes, tidak kaku dengan pemain lokalnya, pemain lokal masih memiliki porsi di timnas, asal mampu bersaing dengan pemain half-blood.
Prinsip friendly terhadap sesuatu yang asing dengan tidak meninggalkan kearifan lokal sejatinya baik, artinya ada kolaborasi antara asing & lokal yang akan menghasilkan sesuatu yang lebih baik, hanya saja terkadang terlalu adaptif & friendly mengeliminasi hal-hal yang seharusnya dirawat bersama dengan porsi yang setara. Seperti Surakarta yang kehilangan status keistimewaan diduga karena terlalu dekat kepada VOC, menumbuhkan semangat masyarakat swapraja yang membenci model kepemimpinan monarki sehingga gelar keistimewaan Surakarta tidak melekat setelahnya, dan menjadikan Yogyakarta konsisten dengan keistimewaannya hingga hari ini. Jangan sampai kebijakan penerimaan pemain keturunan PSSI mengeliminasi pengembangan potensi pemain local dengan tidak memperdulikan pengelolaaan liga profesional sampai akar rumput, karena keduanya penting, untuk menimbulkan hasil yang lebih baik dari kolaborasi asing & lokal tadi sehingga tidak menimbulkan gerakan anti pemain keturunan yang digelorakan para pecinta kearifan lokal yang seharusnya mendapat porsi lebih banyak di timnas.
Article by Putra William Wiroatmojo, Batik Enthusiast.
Berikut spesifikasi batik :
Bahan: kombinasi
Jenis batik: tulis
Ukuran: S
Harga: Rp 600.000,-