Sejarah panjang Islam & Jawa sangat erat hubungannya terutama jika kita berbicara masalah kerajaan Mataram Islam sebelum terpecah pasca perjanjian giyanti. Salah satu puncak kejayaan kerajaan Mataram Islam ketika dipimpin oleh rajanya yang ketiga yaitu Sultan Agung Hanyakrakusuma, putra dari Prabu Hanyakrawati yang mengambil alih tahta ayahnya di usia yang sangat muda sempat ‘Diasingkan’ alias menempa pendidikan agama di Pondok Jejeran, menjadikannya seorang raja atau ksatria yang tangguh, penuh prinsip dengan tingkat relijiusitas yang tinggi, maka tak heran jika orang-orang menyebutnya sebagai Ksatria berhati Brahmana. Salah satu bukti jika sang ksatria benar-benar berhati brahmana adalah ketika mengeluarkan dekrit untuk memadukan penanggalan Jawa & Islam. Penanggalan Saka yang sebelumnya basisnya putaran matahari di era Sultan Agung Hanyakrakusuma, diubah menjadi berbasis putaran bulan atau kalender Qamariah. Tidak mengherankan karena Sultan Agung Hanyakrakusuma menempa diri di pondok Jejeran dan mendapatkan pengaruh ajaran wali songo karena jauh sebelum ini, Sunan Giri melakukan penyesuaian antara sistem kalender Hijriah & sistem kalender Jawa di tahun 931 H atau 1443 tahun Jawa baru untuk memperkenalkan kalender Islam pada masyarakat Jawa. Maka sebelum ditegaskan oleh Sultan Agung, masyarakat Jawa sudah mengetahui penyesuaian tersebut sejak era Sunan Giri. Hal ini mengubah pergantian hari penanggalan Jawa yang sebelumnya berganti di tengah malam, dan berganti setelah terbenamnya matahari. Penanggalan Islam sendiri, diperkenalkan oleh Umar bin Khattab, khalifah pertama pasca kematian Nabi terakhir yaitu Nabi Muhammad SAW.
Mari kita awali dari tanggal 1 suro yang merupakan salah satu penanggalan jawa yang selalu spesial karena banyak kegiatan dan larangan-larangan yang dilakukan di tanggal tersebut. Pada era kejayaan Mataram Islam kepemimpinan Sultan Agung Hanyakrakusuma, perayaan 1 suro seperti kirab belum dilakukan. Saat itu Mataram Islam sedang terfokus pada perang melawan VOC di Batavia untuk melakukan kontrol pemerintahan, Sultan Agung menggelar rapat koordinasi setiap jumat legi. Menurut beberapa artikel kredibel yang tayang di kompas, Sultan Agung Hanyakrakusuma ingin rakyatnya bersatu padu untuk menghalau invasi penjajah yang mulai bergerak dari Maluku ke Batavia setelah sukses di Banda Neira dengan pimpinan utamanya yaitu Jan Pieterszoon Coen, VOC terus merangsek penetrasi ke Jawa pada film Sultan Agung: Tahta, Cinta & Perjuangan digambarkan bahwa Sultan Agung Hanyakrakusuma kuat prinsip, tidak mudah melakukan lobi-lobi dengan beliau meskipun utusan dari VOC membawa segudang hadiah yang menarik hati, tetapi hati sang raja tidak bergeming. Oleh karena itulah, Sultan Agung selalu melakukan koordinasi untuk bertukar visi & menyatukan prinsip di setiap jumat legi sekaligus mengadakan pengajian sebagai siraman rohani & ziarah ke makam Sunan Ampel & Sunan Giri. Begitulah pengaruh pendidikan agama yang didapatkan Sultan Agung ketika mondok di Pondok Jejeran dengan Ki Jejer sebagai pengasuh, beliau memang Ksatria berhati Brahmana sejati.
Inilah yang menjadi cikal bakal peringatan kirab 1 suro karena dianggap memiliki spirit filosofis & spiritualitas yang tinggi untuk dikenang dan diperingati setiap tahunnya. Beberapa orang menyebutnya sebagai tanggal sakral. Sakral yang menurut penulis tidak seharusnya diarahkan pada hal-hal yang berbau mistis, melainkan mengarah pada hal-hal yang suci,bersih, seperti bayi yang baru lahir, ajang introspeksi diri setahun kebelakang atas hal-hal yang telah dilakukan baik buruknya, demi hal-hal yang lebih baik di masa yang akan datang. Itulah spirit sejati yang diusung oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma pada ‘Kesakralan’ tanggal 1 suro yang cikal bakal kirabnya dimulai oleh Pakubuwono X era tahun 1893 hingga 1939. Pada setiap hari Selasa & Jumat kliwon Pakubuwono X melakukan rutinitas keliling, mengelilingi tembok Baluwarti berdasarkan penanggalan Jawa. Kegiatan keliling Pakubuwono X tersebut kemudian berkembang menjadi sebuah tradisi yang terus dilestarikan oleh kerabat Keraton Kasunanan Surakarta hingga saat ini yaitu berupa kirab. Filosofi dari kirab ini adalah sebagai sarana introspeksi agar menjadi pribadi yang lebih baik dari tahun sebelumnya, juga sarana renungan sambil berdoa, meminta kebaikan & keselamatan pada Sang Maha Kuasa.
Salah satu kegiatan yang dilakukan secara tradisi pada tanggal 1 suro yang bertepatan dengan 1 muharram adalah kirab, tentu saja kirab ini dilakukan di Kraton Surakarta & Yogyakarta, 2 kraton tersebut memiliki perbedaan merayakan kirab:
1. Kirab Kraton Kasunan Surakarta Hadiningrat
• Iring-iringanya secara tradisi membawa ‘Kebo Bule’ yaitu kerbau dengan warna kulit kemerah-merahan yang dipelihara oleh Pakubuwana II, yang memerintah sejak 1726 hingga 1749. Menurut Babad Solo karya Raden Mas Said, Kebo Bule tersebut merupakan hewan klangenan atau hewan kesayangan Pakubuwana II ketika istananya masih berada di Kartasura. Kebo Bule tersebut adalah hadiah dari Kyai Hasan Besari dari Pondok Tegalsari Ponorogo, cikal bakal Pondok Modern Gontor Ponorogo kepada Pakubuwono II, menurut pujangga kondang Kraton Kasunanan Surakarta yaitu Yosodipuro. Peran kebo bule saat itu adalah sebagai cucuk lampah (pengawal) dari sebuah pusaka keraton yang bernama Kyai Slamet saat beliau pulang dari Pengungsian di Pondok Tegalsari Ponorogo, ketika terjadi pemberontakan pecinan yang membakar Istana Kartasura. Tombak yang diberi gelar Kyai Slamet tersebut dibawa oleh Pakubuwana X untuk berkeliling tembok Baluwarti setiap selasa & jumat kliwon untuk merenung di tanggal 1 sura. Selain mengawal pusaka Kyai Slamet, Kebo Bule juga senantiasa setia mengawal Pakubuwana X kala itu.
2. Kirab Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat
• Iring-iringanya membawa senjata, gunungan, keris & benda-benda pusaka lainnya, para peserta kirab dilarang berbicara atau membisu sebagai simbol introspeksi diri atas semua yang telah dilakukan satu tahun kebelakang, juga dilakukan kegiatan ‘Muter Beteng’, berjalan mengelilingi benteng Kraton.
Selain kirab di 2 Kraton tersebut, masyarakat Jawa lainnya juga menggelar banyak peringatan yang diyakini sudah menjadi tradisi di masing-masing daerah, berikut melakukan segala yang disebut pantangan dilakukan pada tanggal 1 sura.
Article by Putra William Wiroatmojo, Batik Enthusiast.
Berikut spesifikasi :
1. Surjan Lurik
Bahan: surjan lurik
Jenis batik: surjan lurik
Ukuran: S s.d XL
Harga: dari Rp 275.000,-
2. Kain batik
Bahan: kombinasi tulis
Jenis batik: kombinasi tulis
Ukuran: 2,4 x 1,15 meter
Harga: dari Rp 375.000,-